Thursday, 30 October 2014

Fiksi yang belum selesai


The hardest thing of ‘Good bye’   is when we know we will never say ‘Hello’  again.
Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan
Setiap nafas pasti akan berakhir dengan kematian
Dan Aku percaya bahwa segala sesuatu itu pasti ada awal dan akhirnya,
Meskipun aku membenci kenyataan itu.

Pria itu terdiam di tempat duduknya. Dengan perasaan tak menentu memandangi Gadis di hadapannya yang juga sama membisu. Masih dengan jemarinya yang mengitari bibir cangkir di hadapannya yang masih mengepulkan uap dan menebarkan aroma espresso yang belum tersentuh.
Gadis itu masih diam, tak berniat membuka percakapan. Atau memang tak mampu. Bibirnya terasa kering dan kaku, sekalipun salju turun dan menggunung di sepanjang jalanan di luar café. Mungkin bukan karena udara hangat yang terlalu berlebihan yang dirasakannya. Melainkan karena gadis itu pun telah sedingin salju itu sendiri. Beku dan mati.
Apa yang diharapkannya dengan pertemuannya ini, dengan pria di hadapannya ini?
Kejelasan?
Atas apa?  Hubungan mereka selama ini?
Bukankah sudah jelas? Pria itu sudah menjatuhkan pilihannya, pada gadis lain. Yang tentunya tidak sebanding dengannya dalam hal apapun, kecantikan, popularitas.
Gadis itu menyesap espresso dari cangkirnya saat pria di hadapanya  mendongak dan menatapnya.
“Hye Ra-ssi…”
Sekarat. Ituah yang dirasakannya saat pria itu mengucapkan namanya dan suara seraknya menyentuh telinganya. Dan saat pandangangadis itu menangkap mata coklat di hadapannya yang biasanya tampak meneduhkan, namun kali ini tampak lelah dan kacau.
Buta. Bagi gadis itu mungkin lebih baik. Lebih baik tidak melihatnya sama sekali seumur sisa hidupnya.  Karena menjadi buta berarti tidak akan melihatnya bahagia bersama gadis lain.
Egois?
Bukankah semua manusia sama? Apa yang salah bagi Han Hye Ra menginginkan pria itu menjadi miliknya? Di saat pria itu sendiri dengan keegoisan yang sama lebih memilih gadis lain di bandingkan dirinya.
Setelah semua pelukan itu, semua kenangan itu, semua kecupan hangat yang diterimanya. Setelah semua suka cita yang dibawanya dan diterimanya dengan percuma. sekarang pria itu pun seakan menjatuhkannya dari langit dengan Cuma-Cuma.
‘Bukankah selama ini aku hanya mengharapkanmu?’
‘Bukankah selama ini aku bertahan denganmu?’
‘Bukankah selama ini aku melakukannya dengan hatiku?’
Kata-kata seperti itu,mungkin tidak cukup untuk membuat pria di hadapannya ini mengerti.  Sekalipun tidak.
“Bukankah kau yang memintaku menemuimu di sini?”
Gadis itu mendongak, menatap pria di hadapannya dengan senyum dingin.
“Setidaknya … katakana sesuatu.”
Pria itu masih menatapnya dengan tangan sedikit gemetar, entah karena apa. Rasa bersalah?
Pria itu menatapnya dengan ekspresi tidak nyaman dan sesekali mencoba menurunkan topinya, untuk memastikan tidak ada satupun di kedai kopi itu yang mengenali wajahnya.
Bagaimanapun juga, baru kemarin ‘bom’ itu di jatuhkan. Dan hingga hari ini, skandalnya pastilah hal yang paling banyak diperbincangkan.
Gadis itu menghela nafas sesaat.
“Apa yang kau harapkan? Kau ingin aku mengatakan apa? Memukulimu? Kau pikir itu cukup?”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Mengucapkan serentetan kata-kata itu saja membuat jantungnya seolah di tarik paksa dari tubuhnya.
Pria itu memejamkan matanya danmengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, seolah siap untuk diadili sekejam yang gadis itu bisa.
“Lakukan apapun. Sesukamu”
Lagi-lagi hanya tatapan dingin dari gadis dihadapannya yang di dapat pria itu sebagai balasan.
“Membunuhmu tidak akan menghentikan pendarahan yang telah kau sebabkan”
Hening sejenak. Saat gadis itu menatap lawan bicaranya dengan ekspresi datar dan dinginnya.

Dosa dan penyesalan, mungkin hanya itu yang tergambar jelas dalam bayangan pria itu. Brengsek, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya sendiri stelah dengan mudahnya mengumumkan pada dunia akan gadis pilihannya. Tanpa mempertimbangkan bahwa sejujurnya ada ‘gadis lain’ yang harus menjadi korban dari kecerobohannya sendiri. 


Nuning Indry
Oktober 2014
ditulis disela sela mengerjakan tugas pdd
Share:

0 comment:

Post a Comment